Wednesday, November 28, 2018

Pemilihan Umum Tahun 1971


Pemilihan Umum Tahun 1971







Pemilihan Umum (Pemilu)
adalah proses pemilihan orang(-orang) untuk mengisi jabatan-jabatan politiktertentu] Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam,
mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa.

Pengertian partai politik

1. Carl J. Friedrich: Partai Politik
adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut
atau mempertahankan penguasan pemerintah bagi pemimpin Partainya, dan
berdasarkan penguasan ini memberikan kepada anggota Partainya kemanfaatan yang
bersifat ideal maupun materil.

2. R.H. Soltou: Partai Politik adalah
sekelompok warga negara yang sedikit banyaknya terorganisir, yang bertindak
sebagai satukesatuan politik, yang dengan memanfaatkan kekuasan memilih,
bertujuan menguasai pemerintah dan melaksanakan kebijakan umum mereka.

3. Sigmund Neumann: Partai Politik
adalah organisasi dari aktivis-aktivis Politik yang berusaha untuk menguasai
kekuasan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan melawan
golongan-golongan lain yang tidak sepaham.

4. Miriam Budiardjo: Partai Politik
adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai
orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh
kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara
konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.



Tanggal
pelaksanaan pemilu seharusnya diselenggarakan selambat-lambatnya 6 Juli 1968, namun Pejabat Presiden Suharto kemudian menyatakan pemilu tidak dapat
dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan. Pemilu
yang diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1971. Pemilu
ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru. Dasar hukum pelaksanaan
pemilu tahun 1971 pemilu pertama kali pada masa orde baru berdasarkan ketetapan MPRS Nomor XI Tahun 1966. Berdasarkan
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian dikukuhkan dalam UU No. 10/1966,
DPR-GR masa “Orde Baru” memulai kerjanya dengan menyesuaikan diri dari “Orde
Lama” ke “Orde Baru.” Seharusnya
berdasarkan Ketetapan MPRS No. XI Tahun 1966 Pemilu diselenggarakan pada tahun
1968. Ketetapan ini diubah pada Sidang Umum MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto,
yang menggantikan Presiden Soekarno, dengan menetapkan bahwa Pemilu akan
diselenggarakan pada tahun 1971. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah bersama
DPR-GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Dalam hubungannya dengan pembagian
kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu
1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar,
semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan (sistem proporsional).

Sistem
pemilu yang digunakan
: Representasi
Proporsional Daftar


Sistem pemilu yang digunakan pada pemilu tahun 1971
adalah sistem peoporsional,: Sejumlah bentuk RP
Daftar diterapkan di sekitar 70 negara. Semua bentuk RP memiliki
karakteristik umum sebagai berikut:

·
Partai memberikan
daftar kandidat yang sama jumlahnya dengan kursi yang tersedia di daerah
pemilihan.

·
Para pemilih memilih
untuk satu partai. Jumlah kursi yang diperoleh tiap-tiap partai ditentukan oleh
dan secara langsung berkaitan dengan proporsi jumlah suara yang
diperolehnya di daerah pemilihan yang bersangkutan.

·
Jumlah kursi yang
diperoleh tiap-tiap partai dapat ditentukan dengan menggunakan rumus yang
dapat berupa metode ‘sisa terbanyak’ (largest remainder) atau
metode ‘rata-rata tertinggi’ (highest average). Setiap cara yang berbeda dalam
penghitungan suara ini menimbulkan hasil yang sedikit berbeda – dalam
hal jumlah wakil yang terpilih dari tiap-tiap partai politik.

·
Mungkin ada persyaratan
yang harus dipenuhi partai agar
dapat
diikutsertakan dalam pembagian kursi – misalnya, memperoleh presentase suara
minimal tertentu.


Peserta pemilu tahun
1971





4. Partai
Nasional Indonesia









Pemilu pertama
di era Orde Baru tahun 1971 secara legal merujuk pada Undang-Undang Nomor 15
Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Bada
Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. aturan soal kampanye dalam UU itu termuat
dalam Bab VI tentang kampanye pemilihan dalam bentuk yang sangat sederhana.
Ayat (1) menyatakan, “untuk menyelenggarakan pemilihan umum, dapat diadakan
kampanye pemilihan”, dan ayat (2) hanya mengatakan, “segala sesuatu mengenai
penyelenggaraan kampanye pemilihan termasuk etika/tata krama dalam kampanye dan
pembatasan waktu untuk kampannye diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Aturan
yang minimalis ini dianggap sudah jukup jelas dalam bagian penjelasan, dan
hanya diberi penjelasan tambahan tentang ayat (2) yang menyatakan, “untuk
menghindarkan ekses kampanye Pemilihan Umum maka perlu diadakan suatu tata
krama kampanye dan ;pembatasan waktu untuk kampanye”.

Dari sisi
komunikasi kampanye terdapat suatu gambaran yang kami kutip di salah satu
artikel tentang kampanye yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pertempuran
ideologia terjadi antar partai pada pemilu-pemilu era Orde Baru. Basis
pertempuran terjadi bukan antara “santri” dan “abangan” dalam isu-isu
keagamaan, melainkan antara PKI yang abangan dan koalisi PNI yang juga abangan
di satu pihak, dan partai-partai “santri”, seperti masyumi dan NU di lain
pihak. Bertempur di medan kelas, PKI menawarkan kepemimpinan alternatif yang
bersemangat dan mendesak PNI masuk ke dalam kelas yang sama dengan Masyumi dan
NU, yaitu kelas pejabat desa, kalangan tuan tanah, dan pedagang. Kampanye
berbasis party identification itu berhasil meningkatkan 9 persen suara PKI di
Kulon Progo pada pemilu tingkat provinsi tahun 1957 dan mencapai puncaknya pada 1964 dan 1965. Pemilu 1971 dilaksanakan
pada bulan Juli dan masa kampanye dimulai pada bulan Apri. Pada saat iyu,
Golkar memobilisasi para pesohor dalam kampanye-kampanye mereka.




Lembaga Penyalur
Aspirasi


Lembaga yang,menjadi
aspirasi rakyat pada waktu itu adalah ormas, parpol dan dewan perwakilan rakyat
yang berada di parlemen. Namaun masyarakat pada umumnya lebih dekat dengan
ormas dan parpol dari pada dengan wakil rakyatnya di parlemen. Aspirasi
masyarakat lebih pada kondisi social dan ekonomi yang pada saat itu tidak
stabil. Gejolak politik yang dikuasai oleh Negara saat peralihan kekuasan dari
orde lama ke orde baru mempengaruhi kondisi social maupun ekonomi rakyat yang
belum mapan





Pada Pemilihan Umum Tahun 1971, hasil dan
proses ini terlihat sangat jelas. Golkar, yang saat itu tidak mau disebut
sebagai partai politik, memperoleh kemenangan besar, yaitu 63,8 % suara
pemilih. Politik pemilu selanjutnya adalah mengeluarkan kebijakan penyederhanaan
partai politik melalui fusi. Penyederhanaan partai pada dasarnya adalah
kontinuitas dari yang pernah dirintis oleh Sukarno. pada tahun 1960 Presiden
Sukarno telah mengurangi jumlah partai politik dari kira-kira 25 menjadi 10
yaitu PNI, Partindo, IPKI, NU, PSII, Perti, Parkindo dan Partai Katolik, PKI
serta Murba yang sesungguhnya representasi dari ideologi Nasionalis, Islam,
Kristen dan marxisme. Sebelumnya, Masyumi dibubarkan oleh Sukarno karena
dituduh terlibat dalam pembrontakan PRRI Sumatera Barat yang kemudian tidak
terbukti. Setelah peralihan kekuasaan tahun 1966, PKI dibubarkan dan Partindo
ditindas. dan sebuah partai Islam (Parmusi) pada tahun 1968 dibentuk.
Kesembilan partai tersebut yang kemudian menjadi kontestan dalam Pemilu 1971. Dasar-dasar
bagi politik penyederhanaan partai dilakukan satu tahun sebelum pemilu pertama
era Orde Baru digelar, Februari 1970. Kala itu, Suharto bertemu dengan pimpinan
partai untuk membahasa rencana pemerintah mengurangi jumlah partai. Pertemuan
ini menghasilkan pembentukan dua kelompok koalisi di dalam DPR, Maret 1970
yaitu Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari PNI, IPKI, Murba,
Parkindo, dan Partai Katolik; dan Kelompok Persatuan Pembangunan, yang terdiri
dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Pemilihan Umum Tahun 1971, pemilu pertama
era Orde Baru yang dilaksanakan dibawah payung hukum Undang-undang Nomor 15
Tahun 1969 Tentang Pemilu. Yang menjadi Pemilih adalah warganegara yang telah
burusia 17 tahun dan atau sudah menikah. Prosedur pendaftarannya adalah sistem
stelsel pasif, yaitu pemerintah mempunyai kewajiban mendaftar semua warga
negara yang memiliki hak pilih. Penduduk Pemilih pada Pemilihan Umum tahun 1971
adalah berjumlah 58.558.776 dari jumlah penduduk Republik Indonesia yang pada
waktu itu berjumlah 77.654.492.




Pemilih yang terdaftar :
58.558.776

Suara
sah :
54.635.338(93,3%)

Golput :
3.923.438(6,7%)
































































































































Jumlah Suara Secara Nasional


Jumlah Kursi Pada Pembagian
Pertama


Sisa Suara Setelah Pembagian
Pertama


Perolehan pada Pembagian Kursi
Sisa Pertama


Jumlah Sisa Suara Setelah
Pembagian Kursi Sisa


Kursi Atas Suara Terbesar












































































































































































































Dalam
hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu
1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15
Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan.
Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi
jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi.
Tetapi, kelemahannya sistem demikian lebih banyak menyebabkan suara partai
terbuang percuma. Jelasnya, pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam
tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di
daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus acccord,
pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap.

Tahap
pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai
dibagi dengan kiesquotient di daerah pemilihan. Tahap kedua, apabila ada partai
yang melakukan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang
menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya
apabila masih ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada
partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai
yang melakukan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua.
Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian
pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara
terbesar.

Namun
demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971 menyebabkan tidak selarasnya
hasil perolehan suara secara nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh
suatu partai. Contoh paling gamblang adalah bias perolehan kursi antara PNI dan
Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya
memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi.



Orde
Baru memperkenalkan pemilu serentak (pemilu borongan) yakni memilih sekaligus
anggota DPR, memilih anggota DPRD Tingkat I (provinsi), dan memilih DPRD
Tingkat II (kabupaten dan kota madya) dalam satu masa pemilihan. Yang mungkin
karena dilakukan dengan cara sekaligus semacam itu maka pemilu diberi predikat
sebagai “Pesta Demokrasi”. Dikarenakan diadakan serentak demikian, tentu
diperlukan biaya yang besar pula.


Sistem kepartaian yang berlaku pada
pemilu 1971, Sistem banyak partai (sistem multi
partai) Sistem banyak partai menunjukkan bahwa
suatu negara terdapat lebih dari dua partai politik yang dominan. Pada umumnya
negara yang menganut sistem banyak partai adalah negara yang masyarakatnya
bersifat majemuk. Kemajemukan masyarakat dapat ditunjukkan dengan terdapatnya
bermacam-macam perbedaan sosial, seperti ras, suku, agama dan status. Dengan
adanya kemajemukan masyarakat seperti itu maka golongan-golongan dalam
masyarakat akan lebih cenderung untuk menyalurkan loyalitas mereka ke
organisasi yang sesuai dengan ikatan primordialnya daripada bergabung dengan
kelompok-kelompok lain yang berbeda orientasinya.

Dengan
adanya kemajemukan masyarakat seperti yang dijelaskan di atas, maka akan
mengakibatkan negara yang bersangkutan cenderung menganut sistem banyak partai.
Hal ini sangat wajar, dikarenakan kepentingan yang akan dibawa pastinya akan
berbeda-beda dan mudah lebih muda tertampung dan tersalurkan. Seandainya dalam
negara yang masyarakatnya majemuk tadi hanya ada beberapa partai saja (satu
atau dua partai) maka akan menyulitkan untuk menampung dan menyalurkan aspirasi
yang dibawa oleh masyarakat. Semakin majemuk masyarakat dalam sebuah negara,
maka akan mendorong semakin banyak lahirnya partai politik






Rekrutmen
caleg dan capres diangkat dari internal partai yang di anggap loyalis terhadap
partai. Biasanya partai pro pemerintahan lebih mengangkat orang yang di
mempunyai kekuasaan tinggi yang dilihat dari keturunan, persahabatan (kolusi).
Selain itu juga indicator seorang calon legislative dilihat dari publisitas
keberadaan calon itu sendiri, serta citra yang dia miliki di mata public. Hal
tersebut merupakan nilai positif bagi seorang calon legislative. Begitu juga
yang dilakukan pada saat pemilu tahun 1971.



Dinamika Pemilu dan Parpol 1971

Ketika
Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung
Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, Soeharto juga tidak secepatnya
menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah
Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa
diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, dengan
menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971. Sebagai pejabat
presiden Pak Harto tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Bung Karno, hanya
saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari
sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama. Pada prakteknya Pemilu kedua
baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun pak
Harto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian
(tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.
Undang-undnag yang digunakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan
MPR, DPR, dan DPRD.

Hal
yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah konsep
“netralitas birokrasi” bahwa birokrasi dan para pejabat negara pada Pemilu 1971
diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk
perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara
formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971, birokrasi dan para pejabat
pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Pemilu 1971
yang diselenggarakan pada tanggal 5 Juli adalah Pemilu pertama setelah orde
baru, dan diikuti oleh 10 partai politik. Lima besar dalam Pemilu ini adalah
Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai
Syarikat Islam Indonesia.

Pada pemilu 1971 dinamika partai politik yang terjadi
adalah pemerintah kembali berusaha menyederhanakan partai politik. Seperti
pemerintahan sebelumnya banyak partai politik dianggap tidak menjamin adanya
stabilitas politik dan dianggap mengagngu program pembangunan. Usaha pemerintah
ini baru teralisasi pada tahun 1973 partai yang diperbolehkan tumbuh hanya
berjumlah tiga partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, GOLKAR dan Partai
Demokrsi Indonesia






Nampak sekali bahwa
partai-partai yang ada di Indonesia boleh dikatakan merupakan partai yang
dibentuk atas prakarsa negara. Pembentukan partai bukan atas dasar kepentingan
masing-masing anggota melainkan karena kepentingan negara. Dengan kondisi
partai seperti ini, sulit rasanya mengharapkan partai menjadi wahana artikulasi
kepentingan rakyat. Baru setelah reformasi, pertumbuhan Partai Politik didasari
atas kepentingan yang sama masing-masing anggotanya. Boleh jadi, Era Reformasi
yang melahirkan sistem multi-partai ini sebagai titik awal pertumbuhan partai
yang didasari kepentingan dan orientasi politik yang sama di antara anggotanya.



Kondisi yang demikian
ini perlu dipertahankan, karena Partai Politik adalah alat demokrasi untuk
mengantarkan rakyat menyampaikan artikulasi kepentingannya. Tidak ada demokrasi
sejati tanpa Partai Politik. Meski keberadaan Partai Politik saat ini dianggap
kurang baik, bukan berarti dalam sistem ketatanegaraan kita menghilangkan peran
dan eksistensi Partai Politik. Keadaan Partai Politik seperti sekarang ini
hanyalah bagian dari proses demokrasi.




Tujuan utama
pemilihan umum adalah untuk menghasilkan parlemen yang legitimate dan pemerintahan yang kuat. Hal ini
menjadi tidak mungkin terwujud jika pelaksanaan pemilihan legislatif dan
pemilihan presiden dan wakil presiden dilaksanakan pada saat yang bersamaan
karena isu keduanya berbeda sehingga perilaku pemilih juga tidak bisa
dipastikan. Hal ini akan mengakibatkan tidak terjadinya hubungan yang
signifikan antara parlemen dengan presiden dan wakil presiden sehingga tidak
terwujud tata kelola sistem pemerintahan yang stabil.



Artinya, pemilihan
umum merupakan rangkaian tak terpisahkan antara pemilihan legislatif dengan
pemilihan presiden dan wakil presiden, adanya sequence (jeda waktu) antara keduanya, adalah
untuk memastikan gambaran riil partai politik pendukung di parlemen terhadap
pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih. Karena hanya partai politik
dan gabungan partai politik yang berhasil masuk parlemen-lah yang berhak
mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.



Sehingga keluhan yang
menyatakan “presiden terbelenggu” menjadi tidak relevan, karena persoalannya
bukanlah di UUD 1945, tetapi lebih pada produk dari pemilihan umum yang belum
secara signifikan memposisikan dan menempatkan sistem multipartai pada proporsi
yang sebenarnya.



Adalah hak rakyat
untuk membuat partai politik, dan hak partai politik untuk ikut pemilu. Tetapi
untuk masuk ke parlemen ada mekanisme yang harus ditempuh yaitu Parliamentary Threshold. Agar
partai politik dibentuk tidak hanya sekadar untuk ikut pemilu tapi partai
politik dibuat agar fungsi-fungsi partai politik dapat berjalan sebagaimana
mestinya, sehingga parpol menjadi sarana dan wahana dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan rakyat menjadi keniscayaan. Dan rakyat pun akan kembali menghargai
dan menghormati partai politik karena sesungguhnya demokrasi tidak akan mungkin
tanpa adanya partai politik. Inilah sistem multipartai yang kita bangun untuk
diarahkan menuju terbentuknya sebuah rezim pemerintahan presidensil yang
efektif. Karena dalam sistem presidensil itu tidak dikenal jumlah partai yang
banyak. Selain itu, sebuah keharusan bagi partai politik dan gabungan parpol di
parlemen yang mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden untuk
masing-masing menyamakan visi dan misinya agar selanjutnya dijadikan dokumen
negara yang harus dipertanggungjawabkan dan diumumkan kepada publik.




pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai
terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971,
yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi
jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan. Satu hal yang nyata
perbedaannya dengan Pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977
pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah
sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah
partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua
partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi
Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali
Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga
tadi. Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI
menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang
sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara lang-sung dan tidak langsung membuat
kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung
utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer.





Source

No comments:

Post a Comment