Wednesday, November 28, 2018

PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA


PELAKSANAAN
PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA






BAB I



PENDAHULUAN





A. LATAR BELAKANG MASALAH



Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) di
Indonesia pada hakekatnya merupakan konkritisasi dari perwujudan kedaulatan
rakyat dalam rangka partisipasi politik dalam penyelenggaraan pemerintahan
negara. Secara tegas (explicit)
ketentuan pasal 1 ayat (2) Undang – Undang Dasar 1945 menyebutkan,”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar”
. Penggunaan hak pilih (aktif)
oleh setiap warga negara Indonesia anggota – anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga sebagai aplikasi hak politik warga negara,
sebagaimana ditentukan dalam pasal 28 Undang – Undang Dasar 1945 yang berbunyi,
”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang – undang”
. Kemerdekaan atau kebebasan mengeluarkan pikiran /
menyatakan pendapat merupakan pilar mendasar dalam pemerintahan yang
demokratis, dan dianggap sebagai asas fundamental dalam pemilihan umum.



Demokrasi yang dianut di Indonesia adalah
Demokrasi Pancasila yang mencakup prinsip – prinsip pokok demokrasi
konstitusional yang berdasarkan rule of law. Pelaksanaan Pemilihan Umum yang
bebas untuk mengakomodir hak – hak politik masyarakat, merupakan salah satu
syarat utama pemerintahan yang demokratis berdasarkan rule of law. Secara lengkap (implicit),
dalam
South – East Asian Conference of Jurists
yang diselenggarakan di Bangkok pada tanggal 15 – 19 Pebruari 1965, menyebutkan
syarat – syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis dibawah rule of law, sebagai berikut:



1) Perlindungan konstitusionil, dalam arti
bahwa konstitusi, selain dari menjamin hak – hak individu, harus menentukan
pula cara proseduril untuk memperoleh perlindungan atas hak – hak yang dijamin.



2) Badan kehakiman yang bebas dan tidak
memihak (independent and impartial tribunals).



3) Pemilihan
umum yang bebas
.



4) Kebebasan untuk menyatakan pendapat.



5) Kebebasan untuk berserikat /
berorganisasi dan beroposisi.



6) Pendidikan kewarganegaraan (civic
education)
.


Meskipun
penggunaan hak pilih (hak suara) dalam suatu pemilihan umum adalah hak subyektif
warga negara (masyarakat / rakyat) yang telah memenuhi syarat untuk memilih, akan tetapi dari aspek kepentingan negara dan
bangsa maka dapat dianggap bahwa
penggunaan hak pilih / hak suara warga negara dalam pemilihan umum, pada
hakekatnya adalah sebagai bentuk tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Melalui proses pemilihan umum, rakyat (warga
negara) menyerahkan kekuasaannya / kedaulatannya kepada pemerintah (dalam arti
luas yang mencakup Presiden beserta pembantu – pembantunya yaitu para menteri,
serta parlemen baik di tingkat pusat maupun daerah) untuk mengelola / mengurus
organisasi yang dinamakan negara. Pada umumnya, negara sebagai asosiasi rakyat / rakyat mempunyai tujuan akhir yaitu
menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum
publicum, common good, common well)
.



Dengan
demikian, ketentuan mengenai keiikutsertaan setiap warga negara yang telah
memenuhi syarat untuk memilih dalam pemilihan umum, tidak semata – mata
dianggap sebagai hak yang memiliki pengertian boleh dilaksanakan atau tidak
dilaksanakan. Tetapi, ketentuan mengenai partisipasi warga negara dalam pemilihan umum harus dilihat sebagai
wujud tanggung jawabnya sebagai pemegang
kedaulatan rakyat
, terhadap bangsa dan negara. Sehingga peranan setiap warga negara dalam pemilihan umum dengan menggunakan hak
pilih / hak suaranya merupakan fenomena sosial – politik yang sangat urgent dibahas secara sosiologis
berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia
.



Namun
demikian, agar pembahasan fenomena sosiologis tersebut bersifat faktual maka
penulisan karya ilmiah ini didasarkan
pada:



ad.1. Fakta Yuridis (das sollen), yang meliputi:



-
Pasal 1 ayat (2) Undang – Undang Dasar 1945,
yang berbunyi: Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang –
undang”
.



-
Pasal 22 E ayat (1) Undang – Undang Dasar 1945, yang berbunyi: “Pemilihan umum dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”
.



-
Pasal 1 angka (1) Undang – Undang Nomor 15
Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, yang berbunyi: ““Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu,
adalah sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat
, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang
– Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”
.



-
Pasal 1 angka (1) Undang – Undang Nomor 8
Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang berbunyi: “Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu,
adalah sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat
, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang
– Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”
.



-
Pasal 1 angka (1) Undang – Undang Nomor 42
Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang berbunyi: “Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,
selanjutnya disebut Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, adalah pemilihan umum
untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”
.



ad.2. Fakta Riil (das sein), yaitu masih banyak warga
negara Indonesia sebagai pemegang
kedaulatan rakyat
, tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum di
Indonsia.




B. PERMASALAHAN



Dalam praktek kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia, pemilihan umum (Pemilu) merupakan salah satu bentuk
kegiatan dalam tataran Indonesia sebagai negara demokrasi. Esensi dari
pemilihan umum (Pemilu) adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat yang selanjutnya
merepresentasikan kedaulatan tersebut kepada organ – organ penyelenggara negara
(dan daerah - daerah sebagai bagian dari negara), seperti; Presiden dan Wakil
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Namun
demikian, dalam kenyataannya masih banyak warga negara (rakyat) yang
sesungguhnya sebagai pemegang peranan (role
occupant)
penting, tidak menggunakan
hak pilihnya / hak suaranya dalam setiap
penyelenggaraan pemilu. Secara umum dapat dikatakan bahwa keadaan tersebut
disebabkan oleh hal – hal yang dapat dirumuskan sebagai berikut:



ad.1. Banyak warga negara (masyarakat) yang tidak bersedia menggunakan hak
pilihnya / hak suaranya
.



ad.2. Data daftar
pemilih yang tidak akurat
.




C. METODOLOGI PENELITIAN



Penulisan
makalah ini merupakan suatu rangkaian dari kegiatan ilmiah untuk mempelajari dan membahas fenomena hukum yang didasarkan pada metode
ilmiah. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian, yang dipergunakan
sebagai pedoman untuk mengumpulkan data
– data serta melakukan kajian atau
telaah terhadap fenomena – fenomena yuridis. Sehingga penulisan makalah ini sebagai
suatu bentuk karya ilmiah sesuai dengan
prosedur penelitian yang berfokuskan
masalah (problem – focused research).



Metodologi
penelitian sebagai sarana pengumpulan data yang dipergunakan oleh Penulis dalam
makalah ini, adalah:



a.
Penelitian lapangan (field
research)
melalui metode pengumpulan
data primer atau data dasar (primary data
/ basic data)
yaitu mengumpulkan informasi langsung dari masyarakat sebagai
sumber pertama.



b.
Penelitian kepustakaan (library research) melalui metode pengumpulan data sekunder (secondary data) yaitu mencakup
peraturan perundang – undangan, buku – buku, dokumen – dokumen resmi, media
cetak dan media online, hasil – hasil penelitian yang berwujud laporan –
laporan, yurisprudensi, dan sebagainya.




D. SISTEMATIKA PENULISAN



Agar
pembahasan dalam karya ilmiah ini dapat dengan mudah ditelaah dan difahami, maka
penulisan makalah ini disusun secara sistematis, sebagai berikut:



-
Bab I: Pendahuluan, terdiri dari:



A.
Latar Belakang Masalah.



B.
Permasalahan.



C.
Metodologi Penelitian.



D.
Sistematika Penulisan



-
Bab II: Analisis Masalah



A. Banyak
warga negara (masyarakat) yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya / hak
suaranya.



B. Data
daftar pemilih yang tidak akurat.



C. BAB
III: Penutup



A.
Kesimpulan.



B.
Saran – saran.











BAB II



ANALISIS





A. Banyak warga negara (masyarakat) yang tidak bersedia
menggunakan hak pilihnya / hak suaranya
.




Pemilihan
umum (Pemilu) sebagai saluran (outlet)
partisipasi warga negara (masyarakat) yang dilaksanakan di Indonesia, pada
hakekatnya adalah pengejawantahan dari nilai – nilai demokrasi yang berdasarkan
atas hukum. Dalam Penjelasan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia,
sangat tegas dinyatakan bahwa; 1) Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka (machtsstaat), dan
2) Pemerintahan berdasarkan atas atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang
tidak terbatas). Undang – Undang Dasar 1945
sebagai hukum dasar (grundnorm)
negara Indonesia, pada pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang –
undang”
.



Pemilu sebagai sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat, secara khusus disebutkan dalam pasal 22 E ayat (1)
Undang – Undang Dasar 1945, yang berbunyi: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”
. Undang – undang organik sebagai
peraturan pelaksanaan yang dimaksudkan oleh UUD 1945 tersebut, untuk saat ini
adalah Undang – Undang Nomor 15 Tahun
2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2012
Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang – Undang Nomor 42 Tahun
2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan – ketentuan
mengenai Pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang disebutkan
dalam UUD 1945 dan peraturan perundang – undangan tersebut diatas, adalah
sesuai dengan gagasan konstitusionalisme (constitutionalism)
yang dikemukakan oleh Carl. J. Friedrich sebagai berikut: “Pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan
atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada beberapa pembatasan yang dimaksud
untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu
tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah (Government
is a set of activities organized and operated on behalf of the people but
subject to a series of restraints which attempt to ensure that the power which
is needed for such governance is not abused by those who are called upon to do
the governing)”
.


Pelaksanaan Pemilu merupakan sarana bagi
masyarakat (warga negara) untuk mengekspresikan hak politiknya dalam rangka
menyelenggarakan; 1) perubahan secara damai dalam masyarakat yang sedang
berubah (peaceful change in a changing
society)
, dan 2) pergantian pimpinan secara teratur (orderly succession of rulers). Oleh karena pelaksanaan Pemilu sangat penting artinya
dalam suatu negara demokrasi seperti Indonesia, maka partisipasi politik
masyarakat juga sangat diharapkan untuk menggunakan hak pilihnya / hak
suaranya. Dengan perkataan lain, masyarakat sebagai pemilih (pemegang / pengguna hak pilih)
melaksanakan partisipasinya dalam bentuk kehadiran dan pemberian suara di
Tempat Pemungutan Suara (TPS). Akan tetapi pada kenyataannya masih banyak
masyarakat (rakyat) Indonesia yang tidak bersedia / tidak mau berpartisipasi
untuk menggunakan hak pilihnya pada setiap Pemilu yang diselenggarakan di
Indonesia.



Sebagai contoh
faktual data dikemukakan bahwa “Data KPU
Kabupaten Kebumen menunjukkan angka partisipasi pemilih pada Pilgup tahun 2004
angka partisipasi mencapai 82,51 % sementara pada tahun 2009 hanya mencapai 67,
89 %, atau menurun 14,62% . Sementara angka partisipasi pemilih pada Pemilihan
Presiden ( Pilpres) Tahun 2004 putaran I mencapai 79,69 % dan putaran ke II 74,
34 %. Padahal pada pilpres Tahun 2009 angka partisipasi hanya mencapai 69, 32 %
atau menurun 9,02 % hingga 10,37 % . Kondisi serupa juga terjadi pada angka
partisipasi Pilbup tahun 2005 yang mencapai 71,81%, dan Pilbup 2010 putaran I
mencapai 63,08 % serta putaran II 57,11 % atau terjadi penurunan 8,73 % - 14,70
%”
.
Fakta yang sama dikemukan oleh Siliwanti yang
mengatakan, “Tingkat partisipasi
masyarakat pada Pemilu 2009 yang hanya mencapai 70,99% (Pemilu Legislatif) dan
72,56% (Pemilu Presiden dan Wakil Presiden), dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yakni trust terhadap
penyelenggara, sikap dan budaya politik, teknis, DPT, sosialisasi, dan
administrasi”.

Menyikapi
realita sosial bahwa dewasa ini terdapat tendensi menurunnya animo dan
partisipasi masyarakat dalam Pemilu maka berbagai upaya telah dilakukan. Upaya
tersebut antara lain dengan mengadakan Seminar tentang pemilu yang diselenggarakan oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU) pada
tanggal 16 Nopember 2011, dengan melibatkan Partai Politik (Parpol), Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), Organisasi Masa (Ormas), media massa, Pemantau Pemilu, dan Perguruan
Tinggi .Seminar tersebut dimaksudkan untuk memperoleh input dan solusi terhadap kecenderungan menurunnya tingkat partisipasi
masyarakat dalam Pemilu dan Pemilukada
.


Pada umumnya secara sosiologis
kemasyarakatan dapat diidentifikasi beberapa alasan sikap warga negara Indonesia yang tidak
bersedia menggunakan hak pilihnya, antara lain:



1.
Adanya sikap apatis dari keyakinan masyarakat
bahwa memilih atau tidak memilih tidak mempengaruhi kehidupan mereka secara
signifikan.



2.
Para calon yang bertarung tidak memiliki
kapasitas untuk mewujudkan harapan mereka.



3.
Sebagian masyarakat beranggapan bahwa
kebutuhan ekonomi lebih penting daripada penyaluran hak politik mereka untuk
berpartisipasi dalam Pemilu.



4.
Menurunnya kepercayaan (trust) masyarakat terhadap para calon (Presiden dan Wakil
Presiden, DPR , DPD dan DPRD).



5.
Masyarakat menganggap bahwa sikap dan budaya
politik peserta pemilu (partai politik,
pasangan calon maupun calon independen)
dalam berkampanye sering melakukan prilaku – prilaku yang tidak bermoral
seperti penghinaan, permusuhan dan kecurangan.



6.
Masyarakat trauma dengan propaganda –
propaganda politik selama kampanye yang ternyata tidak terbukti pasca pemilu.



Pemilihan umum
dapat dijadikan sebagai simbol pesta
kedaulatan rakyat. Dalam setiap pelaksanaan Pemilu, partisipasi
masyarakat merupakan salah satu aspek penting untuk terselenggaranya demokrasi.
Partisipasi dalam Pemilu dapat diartikan sebagai keikutsertaan warga negara
(masyarakat) dalam kegiatan-kegiatan politik baik yang bersifat aktif
maupun pasif dan bersifat langsung maupun tidak langsung untuk ikut
mempengaruhi / ikut serta dalam suatu pengambilan keputusan / kebijakan
pemerintah ataupun kebijakan publik. Semakin
tinggi tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilu, maka dapat diartikan bahwa
semakin tinggi pula tingkat legitimasi suatu proses penetapan sebuah
keputusan.



Secara
sosiologis, partisipasi politik masyarakat
untuk berperan serta dalam pemilihan umum berkaitan dengan kesadaran
hukum masyarakat itu sendiri. Kesadaran
hukum masyarakat dihubungkan dengan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara
Indonesia, maka berpartisipasi masyarakat dalam pemilu sebagai sarana untuk menyelenggarakan pergantian pimpinan
secara teratur adalah sesuai dengan asas hukum yang menyatakan “hukum
menghendaki kedamaian (het recht wil den
vrede)
”. Dengan demikian, hak pilih / hak suara tidak hanya dianggap
sebagai hak subjektif warga negara (masyarakat) tetapi merupakan tanggung jawab
warga negara terhadap negara. Dengan pemahaman yang demikian, akan tumbuh
kesadaran hukum masyarakat yang
tinggi untuk berperan serta
dalam pemilihan umum. Asumsi sosiologis ini sesuai dengan pendapat Soerjono
Soekanto dan Mustafa Abdulah yang
menyatakan, “kesadaran hukum yang tinggi mengakibatkan
para warga masyarakat mematuhi ketentuan – ketentuan hukum yang berlaku.
Sebaliknya, apabila kesadaran hukum sangat rendah, maka derajat kepatuhan
terhadap hukum juga tidak tinggi. Dengan demikian, pendapat tersebut berkaitan
dengan berfungsinya hukum dalam masyarakat atau effektivitas dari ketentuan –
ketentuan hukum di dalam pelaksanaannya. Dengan lain perkataan, kesadaran hukum
menyangkut masalah, apakah ketentuan hukum tertentu benar – benar berfungsi
atau tidak dalam masyarakat”
.
Berkaitan dengan pembahasan dalam permasalahan makalah ini, yang dimaksud
dengan hukum tersebut adalah peraturan
perundang – undangan mengenai pemilihan
umum.

Penggunaan hak
pilih dalam pemilihan umum secara sosiologis dianggap sebagai tanggung jawab
warga negara terhadap negara didasarkan pada prinsip bahwa antara negara dan
warga negara terdapat hubungan hukum ketatanegaraan. Oleh karena itu, dalam
konteks pemilu, antara negara dan warga negara
dapat melakukan negosiasi hak (right negotiatian) agar warga negara /
masyarakat menggunakan hak pilihnya dalam pemilu sebagai bentuk tanggung jawab terhadap negara. Negosiasi hak tersebut
dilakukan melalui sosialisasi oleh pemerintah (mewakili kepentingan negara) di
satu pihak dengan warga negara di pihak
lain. Negosiasi tersebut diharapkan dapat menyelesaikan masalah partisipasi
masyarakat agar bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum, yang
sebenarnya hak tersebut telah dimiliki dan melekat pada warga negara yang telah
memenuhi syarat – syarat tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Munir Fuady
yang menyatakan, “negosiasi hak bertujuan untuk menyelesaikan masalah yang
timbul sehubungan dengan pelaksanaan hak yang sebelumnya sudah ada”
.


B. Data daftar pemilih yang tidak akurat.



Faktor lain yang menjadi penyebab
rendahnya tingkat prosentase partisipasi pemilih karena permasalahan pendataan
calon pemilih yang pada akhirnya menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT). Terdapat
kesenjangan atau tidak ada sinkronisasi antara sinkronisasi Daftar Penduduk
Potensial Pemilih Pemilu (DP4) dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu
terakhir serta distribusi dan konsolidasi data pemilih pada daerah – daerah
pemilihan dalam wilayah negara Republik Indoneia. Adanya perbedaan /
kesenjangan data tersebut dapat disebabkan oleh faktor teknologi yang belum
memadai dan / atau faktor kesengajaan oknum – oknum tertentu baik di
pemerintahan maupun di Komisi Pemilihan Umum (KPU).



Berkaitan dengan penggunaan teknologi,
maka KPU telah mengoptimalkan pemanfaatan Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih)
dan Daftar Pemilih Tools (DPTools) untuk meningkatkan akurasi data pemilih pada
pemilihan umum. Sidalih dan DPTools untuk mendeteksi potensi data ganda
sehingga daftar pemilihnya lebih akurat. Sidalih selain berfungsi mendeteksi
data ganda juga dapat digunakan untuk sinkronisasi Daftar Penduduk Potensial
Pemilih Pemilu (DP4) dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu terakhir serta distribusi
dan konsolidasi data pemilih. Teknologi DPTools sudah digunakan oleh KPU sejak
tahun 2009 (untuk Pemilihan Umum tahun 2009), namun belum digunakan secara
merata pada Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilukada) di seluruh Indonesia.



Terlepas dari teknologi sistem informasi
data, maka yang paling penting adalah perilaku aparat pemerintah dalam hal ini
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) beserta jajarannya di tingkat bawah harus
secara jujur dan transparan menyampaikan data pemilih kepada Komisi Pemilihan
Umum (KPU) sebagai user (pengguna)
data. Begitu pula, prilaku anggota atau komisioner KPU harus profesional,
independen dan cermat menyusun Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang akan dijadikan
acuan dalam pemilihan umum. Prilaku aparat pemerintah sebagai penyedia data dan
anggota atau komisioner KPU ini perlu tetap diawasi agar tidak terjadi
kecurangan – kecurangan atau manipulasi dalam menyusun dan menetapkan daftar
pemilih.



Pemerintah dan KPU memegang peranan
penting agar masyarakat sebagai pemegang hak pilih dapat menggunakan haknya
dalam pemilu. Oleh karena dalam kenyataannya, banyaknya masyakat yang tidak
menggunakan hak pilihnya dalam pemilu
tidak semata – mata disebabkan keengganan mereka untuk menggunakan
hak pilihnya, akan tetapi karena nama
mereka tidak terdapat dalam Daftar
Pemilih Tetap (DPT). Dengan demikian pemerintah dan KPU diharapkan dapat
menjalankan peranannya dalam pelaksanaan
pemilu, sehingga pemilu dapat merefleksikan kedaulatan rakyat dalam negara
Indonesia. Peranan pemerintah dan KPU
dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia, dalam hal ini yang dimaksudkan
peranan yang sebenarnya dilakukan (actual
role).
Meskipun dalam kedudukannya sebagai
penyelenggara pemilu, pada hakekatnya
pemerintah dan KPU memiliki peranan yang cukup luas, yang menurut penulis dapat
dihubungkan dengan peranan sebagaimana dijabarkan oleht Soerjono Soekanto,
yaitu;” 1) peranan yang ideal (kideal
role), 2) peranan yang seharusnya
(expected role), 3) peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role),
4) peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role)”
.


Peranan pemerintah dan KPU untuk melakukan
kegiatan menghimpun data pemilih yang akurat secara langsung ke lapangan (Rukun
Tetangga, Kelurahan, Kecamatan, dan seterusnya), apa penyebabnya nama – nama
anggota masyarakat yang sudah memenuhi
syarat untuk memilih akan tetapi tidak termasuk dalam Daftar Pemilih Tetap
(DPT) merupakan tahapan aktiva
sosiologis
. Selanjutnya, berdasarkan
data – data hasil penelitian tersebut dilakukan aktivita intelektualis untuk menentukan metode atau memodifikasi
metode yang telah ada dalam rangka menghimpun data pemilih. Dengan metode yang
demikian diharapkan data pemilih dalam suatu daerah dapat dihimpun secara
akurat, untuk dijadikan pedoman dalam menyusun Daftar Pemilih Tetap (DPT).






BAB III



PENUTUP






A. KESIMPULAN



-
Pelaksanaan Pemilu sangat penting artinya
dalam suatu negara demokrasi seperti Indonesia, oleh karena itu partisipasi
politik masyarakat juga sangat diharapkan untuk menggunakan hak pilihnya / hak
suaranya.



-
Secara faktual (pada kenyataannya) masih banyak masyarakat (rakyat) Indonesia
yang tidak bersedia / tidak mau berpartisipasi untuk menggunakan hak pilihnya
pada setiap Pemilu yang diselenggarakan di Indonesia.



-
Selain masyarakat tidak bersedia
berpartisipasi dalam Pemilu, peneybab lain berkurangnya partisiapasi masyarakat
dalam Pemilu disebabkan sebagian masyarakat Indonesia namanya tidak terdapat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).



-
Secara sosiologis kemasyarakatan maka dapat
diidentifikasi beberapa alasan sikap
warga negara Indonesia yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya, antara
lain:



1. Adanya
sikap apatis dari keyakinan masyarakat bahwa memilih atau tidak memilih tidak
mempengaruhi kehidupan mereka secara signifikan.



2. Para
calon yang bertarung tidak memiliki kapasitas untuk mewujudkan harapan mereka.



3. Sebagian
masyarakat beranggapan bahwa kebutuhan ekonomi lebih penting daripada
penyaluran hak politik mereka untuk berpartisipasi dalam Pemilu.



4. Menurunnya
kepercayaan (trust) masyarakat
terhadap para calon (Presiden dan Wakil Presiden, DPR , DPD dan DPRD).



5. Masyarakat
menganggap bahwa sikap dan budaya politik
peserta pemilu (partai politik, pasangan calon maupun calon independen) dalam berkampanye sering
melakukan prilaku – prilaku yang tidak bermoral seperti penghinaan, permusuhan
dan kecurangan.



6. Masyarakat
trauma dengan propaganda – propaganda politik selama kampanye yang ternyata
tidak terbukti pasca pemilu.



-
Secara sosiologis, dapat dikatakan bahwa partisipasi politik
masyarakat untuk berperan serta dalam
pemilihan umum berkaitan dengan kesadaran hukum masyarakat itu sendiri.



-
Demikian pula, penggunaan hak pilih dalam
pemilihan umum secara sosiologis dianggap sebagai tanggung jawab warga negara
terhadap negara didasarkan pada prinsip bahwa antara negara dan warga negara
terdapat hubungan hukum ketatanegaraan.



-
Secara sosiologis, kesadaran masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pemilihan umum sangat berkaitan erat dengan Perilaku
aparat pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) beserta
jajarannya di tingkat bawah harus secara jujur dan transparan menyampaikan data
pemilih kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai user (pengguna) data. Begitu pula, prilaku anggota atau komisioner
KPU harus profesional, independen dan cermat menyusun Daftar Pemilih Tetap
(DPT) yang akan dijadikan acuan dalam pemilihan umum. Prilaku aparat pemerintah
sebagai penyedia data dan anggota atau komisioner KPU ini perlu tetap diawasi
agar tidak terjadi kecurangan – kecurangan atau manipulasi dalam menyusun dan
menetapkan daftar pemilih.






B. SARAN – SARAN



-
Dalam rangka upaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat
(warga negara) dalam pemilihan umum maka pemerintah dan penyelenggara pemilu
dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu melakukan pendidikan pemilih
kepada masyarakat berupa civil education
mengenai pentingnya menggunakan hak pilih / hak suara dalam setiap pemilihan
umum.



-
Perlu dilakukan sosialisasi tujuan pemilihan umum dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara untuk meningkatkan daya dorong atau motivasi masyarakat
(warga negara) pada setiap pemilihan umum.



-
Penerapan
metode pembelajaran pelaksanaan pemilihan umum sebagai materi mata pelajaran di
tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) / Sekolah Menengah Atas (SMA),
dalam jangka panjang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pemilihan umum.



-
Masyarakat harus senantiasa melakukan
pengawasan (control) prilaku aparat
pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) beserta
jajarannya di tingkat bawah sebagai penyedia data dan anggota atau komisioner
KPU agar tidak terjadi kecurangan – kecurangan atau manipulasi dalam menyusun
dan menetapkan daftar pemilih yang berhak menggunakan hak pilih / hak suara
dalam pemilihan umum.





DAFTAR
KEPUSTAKAAN



(Bibliografi)







Budiardjo Miriam. Dasar – Dasar Ilmu
Politik. Jakarta (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama) Tahun 2000;



Fuady, Munir. Teori – Teori Dalam Sosiologi Hukum. Jakarta (Penerbit: Kencana
Prenada Media Group) 2011;



P., Trubus Rahardiansah, Endar Pulungan.
Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta
(Penerbit: Universitas Trisakti) 2005;





Salman,
Anthon F. Susanto. Beberapa Aspek
Sosiologi Hukum
. Bandung (Penerbit: PT. Alumni) 2012;



Soekanto, Soerjono. Beberapa Catatan
Tentang Psikologi Hukum. Bandung (Penerbit: PT. Alumni) 1979;



-------. Mengenal Sosiologi Hukum.
Bandung (Penerbit: Alumni) 1982;



--------. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum. Jakarta (Penerbit: PT. RajaGrafindo Persada) 2008;



--------. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta (Penerbit: CV. Rajawali) 1982;



Soekanto, Soerjono, Mustafa Abdullah. Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat.
Jakarta (Penerbit: CV. Rajawali) 1982;



Watapedia, Media Online. Pemilu: Faktor Penyebab Turunnya Paartisipasi
Dalam Pemilu
. Edisi 17 November 2011.



Zamzami, Mukhtar. Materi Kuliah Sosiologi Hukum, Memahami Sosiollogi Hukum. Jakarta
(Universitas Jaya Baya) 2012;








Source

No comments:

Post a Comment